Para anggota bursa (AB) tidak lagi mempersoalkan penerapan aturan transaksi marjin yang baru diterapkan per 1 Januari 2010 yang lalu. AB hanya menginginkan bahwa adanya sistem peringatan dini (early warning) sebelum Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan daftar saham yang masuk atau keluar pada transaksi marjin di tiap bulannya.
"Yang perlu dirubah adalah early warning. BEI perlu pikirkan realtime management system untuk bantu AB". Early warning idealnya disajikan otoritas bursa satu minggu sebelum daftar saham-saham yang masuk dalam transaksi marjin dipublikasikan. Ini penting, guna memberi kesempatan bagi investor, melalui sekuritasnya, untuk mengambil keputusan melepas atau mempertahankan saham yang dimiliki di emiten yang bersangkutan.
Saat ini, sistem yang berlaku adalah BEI langsung memberikan daftar saham yang masuk transaksi margin di setiap akhir bulan. Hal ini dirasa memberatkan, karena kesempatan yang diberikan otoritas kepada investor dalam mengambil kesempatan, praktis hanya lima hari.
"Kita selama ini pantau terus daftar saham transaksi margin di tiap akhir bulan. Investor biasanya pegang banyak saham. Nah jika ada saham yang keluar dari saham margin, maka kesempatannya hanya lima hari. Sedangkan investor nggak mau tau," jelasnya.
Saham yang keluar dari daftar transaksi margin, berdasarkan peraturan perdagangan V.D.6, akan mempunyai value Rp 0. Hal ini dikarenakan ratio yang dibubukan saham tersebut di atas ambang batas yang ditetapkan, yaitu 65%. Sedangkan, pada pratiknya, saham tersebut justru mengalami kenaikan harga yang signifikan.
"Ini pernah terjadi pada ANTAM (PT Aneka Tambang Tbk.). Dia pernah keluar dari daftar marjin. Tapi setelah keluar, harga sahamnya justru naik. Padahal kan value-nya Rp 0, karena ratio sudah dibawah yang ditetapkan. Ini kan ga masuk akal," terangnya.
Alpino mencontohkan, investor memulai perdagangan dengan modal awal Rp 100 juta. Maka investor bisa melakukan perdagangan atau pembelian saham sebesar Rp 200 juta, yang tercatat sebagai equity. Rp 100 juta sebagai modal, Rp 100 juta lagi sebagai pinjaman atau hutang. Ini sesuai dengan aturan perdagangan Bapepam-LK, yaitu 1:1.
Dengan perhitungan ini, rasio atas suatu saham yang dimiliki investor 50%. Ini didapat, dari perhitungan Rp 100 juta per Rp 200 juta. Jika pembelian saham hanya terbagi dua, dengan jumlah yang sama, masing-masing Rp 100 juta, dan menjelang akhir bulan salah satu saham terlempar dari daftar margin, maka saham tersebut akan bernilai value Rp 0.
Nilai saham yang Rp 0, mengakibatkan ratio naik menjadi 100%, karena equity terpangkas setengahnya. Dengan ratio yang baru, maka saham tersebut sudah berada di level margin call.
Dalam peraturan perdagangan disebutkan, bagi saham dengan ratio diatas 65%, maka akan dikenakan margin call. Untuk itu para investor yang memegang saham tersebut, diberi kesempatan untuk top up. Jika saham tidak di-top up maka ratio akan semakin naik, dan pada akhirnya terkena force sell.
Forced sell tidak perlu terjadi, jika early warning diterapkan BEI dalam tujuh hari sebelum pengumuman daftar saham margin.
"Jika saham yang terkena margin call terlaporkan sebelumnya, kan mereka (investor) bisa keluar sedikit-sedikit. Pemegang saham juga harus jeli. Sistem risk management menjadi kuncinya. Perlu sistem real time risk management dan juga real time back office," jelasnya.
Sumber >> http://wagiah.blogspot.com

0 komentar:
Posting Komentar